Sabtu, 08 Juli 2017

Apa yang bisa kita tulis dalam karya tulis?


Assalamu'alaikum Wr. Wb. 

Selamat datang di Izzah-rahma Blog. Sobat, sesuai judulnya 'Apa yang bisa kita tulis dalam karya tulis?'. Terkesan menggantung, ya. Oke, sebelumnya kita sudah bahas cara menulis yang baik dan benar. Sekarang kita akan bahas, apa saja sih yang bisa kita tulis. 

Kebanyakan dari kita berhenti menulis karena bingung mau mengawalinya dengan apa. Tentu dengan tulisan, namanya juga menulis. Kalau menggambar, pasti diawali dengan gambaran. Hehehe,  nggak usah basa-basi, langsung kita bahas saja.

Saya pernah bilang, jika kita bisa menuangkan seluruh perasaan kita dalam tulisan. Boleh curhat, pengalaman, ataupun sebuah karya sastra.

Apa itu karya sastra?


Saya sendiri juga baru mengerti jika buku-buku cerita yang saya baca sewaktu sekolah dasar termasuk salah satu jenis karya sastra. Baru setelah saya memasuki bangku SMP. Lalu, apa itu karya sastra? 

Sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Kesusastraan berasal dari kata dasar sastra yang mendapat awalan (ke), sisipan (su), dan akhiran (an). Su berarti baik, dan sastra berarti tulisan. Jadi, pengertian susastra adalah tulisan yang baik.

Menurut definisi Usman Effendi, kesusastraan ialah semua ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa keindahan. Secara umum, kesusastraan Indonesia dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Kesusastraan tertulis.
Yaitu karangan yang diwujudkan dalam bahasa tulis.

2. Kesusastraan lisan.
Yaitu karangan yang diwujudkan dalam bahasa lisan.

Berdasarkan bentuknya, sastra Indonesia dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. PROSA
Prosa adalah bentuk kesusastraan yang bebas (berurai), artinya tidak terikat oleh aturan tertentu, seperti sajak dan irama.

Prosa lama:
-Hikayat
-Dongeng

Prosa baru:
-Cerpen
-Novel
-Riwayat
-Kisah

2. PUISI
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang terikat oleh banyaknya baris dalam bait dan banyaknya suku kata tiap baris.

Puisi lama:
-Pepatah
-Perumpamaan
-Ungkapan
-Tamsil
-Pameo

Puisi baru:
-Balada
-Romance
-Ode
-Elegi
-Satire
-Hime
-Epigram
(Sumber: Buku Indonesia Smart oleh Eko Satrio, S,Pd)

Dah, itu tadi hanya garis besarnya saja dari sastra. Kalau kita bahas satu-persatu tidak akan cukup satu artikel. Mungkin butuh satu e-book untuk menjelaskan sastra dari A-Z. 

Tapi, berdasarkan judul diatas, nggak nyambung jika saya hanya jelaskan pengertiannya saja. Harus ada contoh tulisannya. Lalu, apa yang bisa kita tulis dalam karya tulis kita?

Kita akan mulai dengan contoh prosa baru, yaitu cerpen. Cerpen atau dapat disebut juga dengan cerita pendek merupakan salah satu bentuk prosa naratif fiktif yang memaparkan seluk beluk kehidupan manusia melalui tulisan yang pendek. Biasanya, cerpen memuat tidak lebih dari 10.000 kata.  Jika lebih dari itu, bisa dinamakan novel.

Nah, kali ini saya akan memberikan satu contoh cerpen karya saya.


'Dari Pengalaman Menjadi Pengamalan'


Aku punya mimpi. Lantas, apakah salah jika orang miskin sepertiku punya mimpi? Tidak, kata ibuku. Kehidupan yang keras mengajarkanku apa hidup yang sebenarnya. Tentang pengorbanan, perjuangan, cinta, dan kasih. Terlepas dari semua itu, ada satu hal yang amat kusyukuri dengan kehidupanku saat ini. Dialah mereka. Orang-orang yang sangat kusayangi, orang-orang yang mengajarkanku arti hidup yang sebenarnya.

Sejak kecil, ibuku terus saja meyakinkanku, bahwa aku harus jadi orang sukses. Bergelar S3 katanya. "Ndak masalah jika ibumu ini hanya lulusan SMP, tapi anaknya nanti bisa bergelar S3. Iya, to, Nduk?" kata ibuku dengan logat jawanya. Kala itu, ibu sedang menjahit. Memang itu sumber mata pencahariannya, mengais uang dari rajutan benang. Aku hanya tersenyum dan mengangguk saat ibu mulai menyerembet masalah S3. Menurutku, lucu saja jika aku bermimpi lulusan S3, sedangkan ekonomi keluarga saja pas-pasan. Untuk makan sehari-hari saja harus njelimet menjahit pakaian pesanan tetangga, apalagi lulusan S3 bisa bertahun-tahun njelimetnya. 

Saat itu adalah hari libur terakhirku, yang artinya besok harus memasuki bangku sekolah lagi. Sebenarnya cukup melelahkan berjalan 3 km ke sekolah, tapi mau bagaimana lagi, keadaan mengharuskanku menjalaninya.

Dan seperti biasa, sebelum aku berangkat sekolah ibu selalu memberikan senjata ampuhnya. "Ndak masalah kalau sekarang kamu jalan kaki 3 km, nanti kalau sudah sukses kamu bisa naik pesawat ke sekolah bareng teman-temanmu. Iya 'kan, Nduk?" tanya ibu sembari melirik teman-temanku yang sedari tadi cengengesan. Tapi benar, itu adalah senjata ampuh ibu supaya aku tidak berkecil hati saat melihat teman-temanku yang lain naik sepeda. Dan ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di SMPN 1 Purwokerto.

Butuh perjuangan masuk di sekolah favorit itu, belajar mati-matian siang  malam untuk menjalani tesnya. Alhasil, aku bisa memasuki SMP favorit ini dengan nilai yang cukup memuaskan. Lalu, aku menjalani suasana sekolah yang baru, seragam baru, teman-teman baru, guru-guru baru, dan tentunya cerita yang baru juga. Aku menjalani hari pertama biasa-biasa saja, berkenalan dengan banyak orang, beradaptasi dengan suasana baru, dan hal membosankan lainnya. Tapi tidak dengan hari-hari selanjutnya, aku menjalani masa-masa SMP dengan serius, nyaris tanpa candaan. Siang hari membantu ibu, sore hari mengaji, dan malam hari ku gunakan untuk belajar. Berlanjut sepanjang hari. Sampai-sampai teman-temanku menjuluki aku kutu buku-lah, profesor dadakan-lah, otak komputer-lah, dan masih banyak lagi julukan-julukan aneh yang kudapatkan hampir satu tahun ini. "Kara, nggak bosen, ya, baca terus. Aku ndak pernah liat kamu main sama kita, kamu sombong, ya, " itu sebagian dari celoteh mereka, tapi kuabaikan saja.

Tahun kedua kujalani seperti biasanya, belajar terus hingga nilai ku meningkat. Tak sedikit pula teman-teman yang memintaku mengajari mereka tentang pelajaran yang kurang mereka pahami. Bahkan, ada yang meminta jawaban langsung dariku untuk semua pertanyaan guru, alias nyontek. Tapi, ya sudah, ku abaikan saja. Mau pintar atau tidak itu 'kan urusan mereka, aku tak terlalu memikirkan apakah mereka paham atau tidak. Selain itu, aku juga telah mengikuti beberapa perlombaan dan memenangkannya. Hal itu tentu saja membuatku semakin dekat dengan bapak-ibu guru, dan yang pasti memudahkan proses belajarku. Tapi, ada satu keganjalan saat beberapa teman justru bersikap aneh saat aku dekat dengan bapak-ibu guru, semacam tidak suka. Tapi, ya sudahlah, lagi-lagi ku abaikan. 

Tahun ketiga, disinilah penentuan antara lulus atau tidak untuk tiga tahun belajar. Aku semakin keras belajar hingga larut malam, bahkan hingga aku jatuh sakit karena kurang tidur. Tapi, disanalah terjadi keganjalan yang amat sangat mengganjal. Saat itu, hampir semua teman sekelas berbaik hati padaku. Mulai dari mentraktir makan di kantin, membelikan novel favoritku, bahkan ada yang sampai membelikan aku beberapa kebutuhan pribadi. Bukankah itu sangat aneh? Sebelumnya mereka mengataiku aneh,  tapi sekarang mereka justru sangat baik padaku. Sebenarnya, apa yang mereka sembunyikan? Aneh.

Hingga ada satu sahabat yang sangat dekat padaku datang, dia bilang begini, "Hati-hati, Ra, sama mereka. Pasti ada maunya mereka baik-baikin kamu. Bukannya suudzan, tapi aku kenal mereka." kata Nada, mengingatkanku.
"Biarin-lah, Nad. Yang penting mereka ngasih, ya kuterima saja. Masalah itu dipikir belakangan," jawabku santai waktu itu.

Hingga saat tiga hari sebelum ujian sekolah tiba, Laras datang padaku. "Pokoknya, nanti pas ujian kamu harus ngasih contekan ke kita, otak komputer!" katanya tiba-tiba saat aku sedang asik membaca novel baru pemberiannya. Hei, apa maksud Si Jutek ini! Dia menyuruh aku menyontekinya dengan semudah itu? Memangnya dia pikir pintar itu instan, tidak-lah. Enak saja.
"Apa maksudmu?", tanyaku heran bercampur marah yang tertahan. "Atau aku akan minta ibu kamu yang miskin itu, untuk bayar semua utang anaknya." Hei hutang apa, Jutek. Bahkan, sepeser pun minta uang padamu tak pernah.
"Apa maksudmu, Ras?  Aku benar-benar tak mengerti," jawabku yang semakin bingung.
"Kalau dipikir-pikir, barang-barang yang kita kasih ke kamu itu harganya udah lebih dari se-juta, ya. Jadi kamu punya hutang segitu sama kita. Dan kalau kamu nggak mau ngasih contekan ke kita, aku akan tagih ke ibumu. Ngerti kamu, otak komputer!" bentaknya sebelum berlalu pergi, membiarkanku sendiri dalam kebingungan.

Aku semakin bingung. Aku berniat menemui Nada saat jam istirahat nanti, untuk menanyakan semuanya. 

Saat istirahat.

Aku melihatnya duduk di bangku taman belakang sekolah. Aku berjalan mendekatinya, wajahnya ditekuk.

"Nad, kamu tahu nggak, apa yang dilakuin teman-teman sekelasku?", kataku mengawali pembicaraan.
"Memangnya apa?", tanyanya singkat tak bergairah.
"Kamu tahu barang-barang yang pernah aku ceritain ke kamu dulu? Ternyata mereka memang berniat njebak aku, Nad. Pertama, mereka ngasih barang-barang itu supaya aku ngerasa punya hutang. Lalu, mereka minta aku balas budi sama mereka. Aku terlanjur menerimanya. Dan kamu tahu, ada yang lebih parah lagi, Nad." 
Kali ini dia menoleh, "Apa separah itu? Lalu, apa salahnya, teman-temanmu 'kan memang seperti itu," jawabnya singkat lagi.
"Dan yang lebih parahnya, nanti di ujian sekolah aku harus menyonteki mereka. Jika tidak, Laras akan nagih ke Ibuku lebih dari se-juta. Aku harus gimana, Ras?", ceritaku panjang lebar, berharap dia merespon dengan baik. 
"Itu 'kan pilihanmu, kamu nggak mau dengerin aku. Padahal aku sudah ngingetin kamu, Ra. Dan kamu lebih memilih barang-barang mewah itu daripada dengerin aku. Sekarang kamu rasakan sendiri akibatnya, tahu 'kan sekarang siapa yang sahabat beneran dan yang ada maunya saja," jawab Nada yang jauh dari dugaanku. 
"Bukan begitu, Nad, maksudku. Aku juga nggak tahu kalau akhirnya bakal kayak gini. Maaf-lah, Nad. Tolong bantu aku," kataku meminta.
"Yah, sekarang kamu harus jalani konsekuensinya. Ingat, tinggal tiga hari lagi, Ra. Jangan sampai kamu kecewakan orang tuamu, apalagi ibumu sudah berharap sangat besar padamu. Orang miskin seperti kita itu, harusnya menjalani hidup apa adanya. Kalau nggak bisa mewah, ya jangan dipaksakan," katanya sedetik sebelum pergi meninggalkanku di bangku taman ini sendiri. Seperti mengisyaratkanku untuk merenung dan berpikir.

Aku harus bagaimana, aku tak bisa cerita pada Ibu. Lalu, apa mungkin aku harus membayar hutangku? Tak mungkin jika aku mencari uang sebanyak itu dalam waktu hanya dua hari. Ya Tuhan, tolong aku.

Hari berganti hari. Tibalah saat ujian sekolah. Aku pasrahkan semuanya pada Allah. Berharap hari ini akan segera berakhir.

Ketika hendak memasuki ruang ujian, Laras menarik tanganku. "Ingat, kamu punya hutang pada kita semua.", katanya mengancamku. Aku semakin gugup, tapi berhasil kutenangkan lagi diriku.

Seminggu setelah ujian, saat acara perpisahan.

"Kara, ibu berharap kamu dapat nilai tertinggi, Nduk.", kata Ibu sesaat sebelum pengumuman nilai tertinggi.
"Kalau ndak bisa bagaimana, Bu?", tanyaku tanpa keyakinan.
"Kalau ndak juga ndak apa-apa, Nduk. Kamu 'kan sudah berusaha semampumu to, jadi tinggal serahkan semua pada Allah. Yang penting, kamu harus yakin sama dirimu sendiri," kata Ibu yang kembali mengeluarkan senjata ampuhnya untuk membesarkan hatiku. Aku pun mengangguk dengan pasti.

Saat perjalanan pulang. 

"Sudah. Jangan berkecil hati, yang penting kamu lulus dengan nilai yang jujur to? Saingannya 'kan juga berat-berat. Jangan dipikirkan. Begini pun ibu sudah bangga sama kamu, jadi jangan sedih, ya." Ibu kembali menenangkanku saat perjalanan pulang. 
"Maafin Kara, ya, Bu. Kara ngecewain ibu." kataku sedih.
"Sudahlah, Ra. Sekarang yang harus dipikirkan itu, kamu mau ngelanjutin ke mana?", kata Ibu mengalihkan pembicaraan sambil mengajakku masuk ke warung kopi kecil di pinggir jalan.
"Kara pengennya di SMA 1 Purwokerto. Ndak apa 'kan, Bu?" tanyaku memastikan.
"Ndak masalah kalau kamu pengennya ke sana. Yang terpenting, belajar yang bener.  Ibu yakin sama kamu!".

Kali ini aku tak akan mengecewakan ibu. Aku tak akan terpengaruh dengan iming-iming kemewahan teman-temanku nanti di sana. Benar kata Nada, orang miskin seperti kita seharusnya menjalani hidup apa adanya. Kalau nggak bisa mewah, ya jangan dipaksakan.

Tiga tahun berlalu.

Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya. Bahwa kali ini aku tak akan mengecewakan ibu. Aku berhasil lulus dari SMA 1 Purwokerto dengan nilai yang memuaskan, dan seperti mimpi ibuku tiga tahun yang lalu. Aku mendapat nilai tertinggi dalam satu sekolah. Tak hanya itu, yang paling kusyukuri adalah, bahwa aku bisa bertahan dari iming-iming kemewahan teman-temanku dan tetap dengan kesederhanaanku. Seperti yang dulu selalu kulakukan di bangku sekolah dasar bersama Nada, sahabat terbaikku.

Aku menatap gedung sekolahku bersama dia.

"Memang benar apa katamu, orang miskin seperti kita harusnya menjalani hidup apa adanya. Kalau ndak bisa mewah, ya jangan dipaksakan. Iya 'kan, Nad." Aku memulai pembicaraan dengan penuh haru. Sebab, setelah ini kita akan berpisah dengan pilihannya masing-masing.

"Kamu salah kalau bilang kita ini miskin, yang betul itu sederhana," 

Kami bertatapan sejenak, lantas tertawa bersamaan.

"Siapa tahu, nanti kita bisa berangkat sekolah naik pesawat. Seperti yang ibumu bilang dulu," lanjutnya sambil berbalik arah menuju gerbang sekolah.

Aku menyusulnya, lantas kami kembali tertawa lepas bersamaan. Semoga aku bisa menemukan momen ini lagi lain waktu. Semoga.
    
    *****

Oke, Sobat. Itu tadi contoh cerpen  yang coba saya buat. Maaf kalau jelek, namanya juga baru belajar. Itu hanya contoh, kalian bisa buat yang lebih baik dari saya.

Semoga bermanfaat. Untuk lanjutannya, tunggu di postingan berikutnya. Saya akan berikan contoh-contoh lainnya. 

Kalian bisa keluarkan unek-unek kalian di kolom komentar. Karena komentar kalian sangat berguna untuk kemajuan blog ini. Terimakasih sudah berkunjung di blog saya yang sangat sederhana.

Wassalamu'alaikum Wr.  Wb.
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar